Goodbye, Baby

Goodbye, Baby

A Story by Oktafia Dwijayanti
"

A sad short story about a girl grieving for the one she loves

"

Goodbye, Baby


Aku berdiri kaku dan terdiam. Saat perjalanan pulang, mataku mengenali sebuah figur yang berada di temaram. Minhyun berdiri di gang sebelah pagar rumahnya. Bagai disihir, tubuhku segera berlari menghampiri. Namun, aku terlambat. Figur itu hilang ditelan kegelapan gang tersebut. Aku bertanya di dalam hati, mengapa Minhyun masih sempat melihatku.


        Kembali ke empat bulan lalu. Masih sangat jelas teringat olehku, lengan Minhyun yang memelukku erat, jari-jari lembut dan hangat yang memegang tanganku, wajah yang sudah kuanggap sebagai bagian jiwaku. Tetapi tiba-tiba semuanya menghilang. Minhyun meninggalkanku tanpa pesan, tanpa berita. Hanya sebuah surat kecil yang ia tulis,”정멀 미안해, 사�'해” (Maafkan aku, aku mencintaimu). Sebuah catatan kecil yang mengubah duniaku. Aku tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dimana aku harus mencari Minhyun dan bagaimana aku dapat menemukannya.


         Aku masuk ke kamarku, melihat kertas kecil tersebut dan mulai bernostalgia. Malam itu, tidak seperti biasa, Minhyun hanya diam saat aku datang ke apartemennya. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, bahkan saat aku bertanya tentang makan malam. Sebagai gantinya, Minhyun menciumnya, manis dan lembut. Ciuman tersebut makin bergairah, sekali lagi, tidak seperti Minhyun yang biasanya. Aku dalam kebingunganku hanya dapat bertanya dalam hati, sambil mencari jawabannya saat melihat mata Minhyun dalam-dalam. Bukan jawaban yang aku dapat, malah Minhyun membawaku ke kamarnya. Bercumbu, bermesraan, diriku dan Minhyun pun menjadi satu malam itu. Meskipun begitu, wajah Minhyun tidak menunjukkan adanya siratan kebahagiaan. Aku melihat matanya sekali lagi, dan yang kulihat adalah yang untuk pertama dan terakhir kalinya. Air mata Minhyun. Ya, Minhyun menangis. Ia menangis, seakan tidak mungkin lagi untuk dapat menemuiku. Seakan jiwanya denganku tidak akan lagi dapat menjadi satu, seperti biasa. Cinta? Sangat. Aku sangat mencintai Minhyun, begitu juga sebaliknya.


        Hingga sekarang pikiranku tidak kunjung mengerti, alasan di balik kepergian Minhyun yang tiba-tiba dan mengapa ia juga tiba-tiba muncul kembali. “Muncul kembali,” gumamku. Hatiku memang mengatakan itu Minhyun, tetapi akal sehatku menolak itu. Entah yang mana yang harus aku percayai.


         Tiba-tiba suara ketukan di pintu rumahku membuyarkan lamunanku. Dengan segera aku membukakan pintu, namun yang kujumpai hanya sebuah kotak kecil dan sepucuk surat. Kubawa kotak dan surat tersebut dan kubuka. Betapa terkejutnya diriku, saat kulihat isi kotak tersebut. Barang-barang Minhyun yang ada di apartemennya. Kemudian kubaca surat tersebut. Air mataku tidak dapat dibendung, apalagi ditahan. Surat itu berkata, “Selamat malam, Afi. Kami orang tua Minhyun. Kami tahu, bahwa Minhyun sangat mencintai kamu, begitupun juga kamu. Tapi kami mohon maaf, Minhyun tidak bisa lagi menemuimu. Dia bahkan tidak bisa lagi menemui kami, orang tuanya sendiri. Minhyun pergi ke tempat yang sangat jauh, yang tidak akan pernah dapat dijangkau oleh siapapun yang masih hidup. Maafkan kami, karena tidak memberitahumu tentang penyakit Minhyun. Ia telah menderita bahkan sebelum bertemu denganmu, hingga dokter memvonisnya berumur hanya 4 bulan lagi. Namun, Minhyun akhirnya berkenalan denganmu. Perlahan tapi pasti, keadaannya mulai membaik. 4 bulan yang divoniskan dokter terlewati begitu saja. Dia berusaha yang terbaik, agar dia dapat hidup dengan kamu selama mungkin. Tetapi Tuhan berkata lain. 4 bulan yang lalu, saat Minhyun melakukan cek kesehatan rutin, ternyata sel kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuh, bahkan ke otaknya. Dokter kembali mengatakan, bahwa ia hanya akan dapat hidup selama 3 minggu. Dia kembali melewati batas, dan akhirnya minggu lalu, tepat hari Sabtu, tubuhnya menyerah dan Minhyun tidak ada lagi. Kami disuruh oleh Minhyun mengantarkan barang-barang ini kepadamu setelah ia meninggal. Ini kata-kata terakhirnya untukmu, ‘정말 미안해, 사�'�-�. 기다려 안돼...’ (Maafku aku, aku mencintaimu. Tidak usah menungguku...). Terima kasih, sudah memberikan arti kehidupan pada Minhyun.”


          Aku menangis sejadi-jadinya. Minhyunku, belahan jiwaku, separuh hidupku, kini hilang. Ingatanku kembali pada sosok yang kulihat di depan gang, sosok Minhyun. Hatiku pun bertanya, “Minhyun, kenapa kamu masih menengokku? Apakah kamu tidak yakin aku bisa menjalani hidupku? Apakah kamu masih khawatir denganku? Tenanglah, aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan pernah menyerah dengan hidupku, seperti yang kamu lakukan.”


이젠 괜찮아, without you...

© 2015 Oktafia Dwijayanti


Author's Note

Oktafia Dwijayanti
This story is in Bahasa (Indonesia).

My Review

Would you like to review this Story?
Login | Register




Reviews

It would be a pleasure to read you're story if it were in the common tongue! Please do translate it in English as well:)

Posted 9 Years Ago


Oktafia Dwijayanti

9 Years Ago

Thank you! I will try to write in English, but because I'm still not capable to, so I write in Bahas.. read more
Ehra Khan

9 Years Ago

Go on! Give it a try! you'll get better qith time!
Oktafia Dwijayanti

9 Years Ago

Okay! Thanks for the advice btw~

Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe


Stats

167 Views
1 Review
Added on March 8, 2015
Last Updated on March 8, 2015
Tags: short story, indonesian

Author

Oktafia Dwijayanti
Oktafia Dwijayanti

Tangerang Selatan, Banten, Indonesia



About
a girl with the wildest imagination and too many questions inside her head more..

Writing