1_The Opening of this Story, and the Beginning of War

1_The Opening of this Story, and the Beginning of War

A Chapter by Aga ALana

Dua puluh lima tahun telah berlalu setelah peperangan besar terjadi di bumi. Kini, kedamaian telah menyebar bak harum bunga melati di pagi hari.

Negara ORB, negara yang hanya terdiri dari satu pulau kecil. Terletak di sebelah timur bawah dari Benua Asia. Dengan sistem pemerintahan federal, memiliki politik luar negeri netral, bebas aktif.

Pusat latar tempat, berada di sebuah pantai. Sebuah rumah mewah bergaya eropa terbangun indah di tepi pantai berjarak kurang lebih limapuluh meter dari tepian pantai. Sebagian besar dihuni oleh anak-anak yatim piatu. Benar, rumah ini adalah panti asuhan untuk anak-anak yang telah kehilangan orangtua mereka sewaktu perang, lima belas tahun yang lalu.

“Aku pulang!” seorang anak laki-laki dengan pakaian seragam sekolah, memasuki rumah megah itu.

“Selamat datang, Kai!” jawab anak-anak lain sebayanya, terutama anak perempuan.

“Kai-kun, selamat datang, sayang.” Seorang pria dewasa menghampirinya dengan senyuman lembut.

“Ah, ayah. Jangan panggil aku dengan kata sayang. Aku sudah besar,”  elak Kai. Ayahnya hanya tersenyum, yang lain tertawa kecil.

“Kakak!! Okaeri!” anak perempuan kira-kira berusia enam tahun, berlari dari arah dapur menuju Kai dengan kecepatan tinggi. Ia langsung memeluk kakaknya itu.

“Kamu ini kenapa sih, La! Seenaknya!” maki Kai. Anak kecil itu hanya cemberut.

“Kai, jangan kasar sama adikmu sendiri,” nasehat ayahnya.

“Habis, dia duluan yang bikin ulah. Nyebelin!” Kai mencibir ke adiknya. Karena merasa terlalu sedih, sang adik kabur dan masuk ke dapur lagi.

“Kai, sudah ayah bilang jangan menjahati Yula. Bagaimana pun dia adik kamu. Dia lah yang akan menompangmu saat kau sedang dalam kebimbangan. Kamu harus ingat kata ayah, Kai.”

“Tapi ayah...”

“Ayah mohon padamu, nak. Ingatlah pesan ayahmu ini. Janganlah menghukum Yula, dia tak bersalah.”

Kata-kata sang ayah membungkam Kai. Kai memang sangat membenci adiknya. Dia punya alasan tersendiri mengapa ia membenci adiknya yang belum mengerti apa-apa.

Enam tahun yang lalu, saat Yula dilahirkan. Saat di mana agresi dalam negeri masih tampak walau tersembunyi. Lacus, mantan putri negara yang kini hidup damai bersama suaminya di sebuah daerah, mengasingkan diri karena agresi tersebut. Kini ia tengah hamil tua dan segera melahirkan. Ia melahirkan seorang bayi yang cantik dan imut. Namun selama dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, mereka dicegat oleh sekelompok pemberontak negara. Dan disaat itulah, Lacus tertembak . . . .

Hal ini menjadi sebuah trauma besar bagi Kai. Dengan mata kepalanya sendiri melihat ibunya mati. Dan ia membenci detik, menit, jam, hari dan tanggal dimana ia kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Termasuk tanggal lahir adiknya sendiri, Yula. Ia menganggap kehadiran adiknya adalah bencana baginya. Saat melihat Yula, yang ia lihat adalah kematian ibunya . . .

“Ayah,” Kai memanggil ayahnya.

“Ya, ada apa?” tanya sang ayah dengan senyum.

“Maaf, apapun yang terjadi aku tak akan dapat menyukainya.”

Kai berlalu dari hadapan Kira. Ia tahu maksud anak sulungnya. Ia tak dapat memarahi atau menasehati Kai lebih lagi. Ia mengerti kesedihan Kai. Karena, ia juga sangat kehilangan sesosok wanita yang sangat ia cintai. Namun, semua ini bukanlah kesalahan dari kelahiran seorang anak. Inilah yang disebut takdir.

Dan takdir memang tidak dapat dielakkan lagi. Mereka, manusia takkan ada yang tahu sebab dan akibat dari kehidupan mereka. Mereka hanya dapat berusaha, melakukan segala hal semampu mereka dan mendapat hasil di akhir takdir itu sendiri. Kehidupan akan cepat berubah, terutama untuk kedua anak yang ditakdirkan itu, Kai dan Yula.

Dari kejauhan, Kira mendengar suara gemuruh. Ia memiliki perasaan buruk atas itu. Tanah serasa bergetar. Semua anak merasa takut, namun Kira tetap menenangkan mereka.

“Ayah, ada apa ini?” tanya Kai cemas.

“Tenang, anakku, semua akan baik-baik saja,” tenangnya.

Ia beranjak ke jendela melihat situasi diluar. Dan ternyata dugaannya benar. Ia memanggil Rian, anak panti tertua di sana.

“Rian!”

“Ya, Pak!”

“Kau tahu apa yang harus kau lakukan disaat ini, bukan?”

“Ya, pak. Saya mengerti.”

“Baguslah!” Kira mengomando anak-anak untuk mengikuti Rian. “Anak-anak, ada hal yang tidak seharusnya kita temui sekarang. Ikutilah Rian ke ruang bawah tanah sekarang juga dan jangan ada yang melanggarnya!”

Semua anak merasa cemas namun tetap mengikuti perintah Kira. Begitu pula dengan Kai dan Yula. Walau awalnya mereka tidak mau pergi tanpa ayah mereka.

“Ayah juga akan ke bawah, sayang. Jangan takut!”

Setiba di ruang bawah tanah, tempat yang sangat rahasia. Di sana ada benda-benda yang sangat aneh, bagi Yula, bagi seorang anak kecil, mesin-mesin, robot atau hal yang sama dengan itu. Ia terkagum sendiri. Namun kekaguman itu terhenti saat semua anak masuk ke dalam sebuah kapal selam berbentuk kapsul dimana memuat semua anak yang memang jumlahnya ada sekitar empat puluhan.

Kai berprasangka buruk akan kondisi ini. Ia ragu akan masuk ke dalam kapal itu, begitu pula Yula.

“Ayah bagaimana? Ayah tidak masuk?” tanya Kai.

“Kalian masuk saja dahulu. Ada hal penting yang akan ayah urus disini.”

“Ayah jangan bohong!!” teriak Kai, “Ayah pikir Kai tidak mengerti dengan kondisi ini? Tempat ini jarang sekali digunakan karena tempat ini adalah tempat keluar disaat darurat, bukan? Sebenarnya apa yang terjadi, ayah? Jangan sembunyikan ini dari Kai!”

Kata-kata Kai membuat Kira terdiam. Begitu pula Rian, Yula dan anak lainnya. Anaknya benar, ia tak bisa dibohongi seperti anak seusia Yula. Kira memegang kedua pundak Kai, ia menatap tajam namun lembut kepada anak sulungnya itu.

“Ini demi kalian semua, nak. Berjanjilah pada ayah untuk menjaga Yula, adikmu.”

Kai tetap tak mau mengerti. Ia menitikkan air mata.

“Jangan lakukan itu, ayah! Kumohon!”

Kira tak dapat melihat anaknya menangis. Ia mengusap air mata Kai. Ia tetap tegar.

“Rian! Bawa Kai bersamamu,” perintahnya.

“Siap Pak!” Rian memegang tangan Kai bermaksud membawa anak itu dengan lembut masuk ke dalam kapal. Namun Kai tetap tidak ingin jauh dari ayahnya. Terpaksa, ia mengendong Kai masuk ke kapal. Yula, karena ia masih kecil, ia telah masuk lebih dahulu karena di tarik anak yang lainnya, Amane, tiga tahun lebih tua dari Kai.

Yula masih bingung dengan kondisi ini. Semua anak merasa cemas, begitu pula kakaknya, Kai, ia melihatnya menangis. Sementara saat pintu kapal tertutup, ia baru sadar akan ayahnya masih tertinggal di luar. Yula tersentak dan berteriak, “Tunggu! Ayah masih di luar!”

Namun kapal telah pergi meninggalkan Kira. Saat itulah, Yula menangis kencang, memanggil-manggil ayahnya. Anak-anak yang lain tak dapat berbuat apa-apa. Kai tak ingin mendekati adiknya hanya untuk menenangkan adiknya itu, ia malah menjauh, menyendiri.

Amane mendekati Yula dan memeluknya. “Tenang, ya, Yula. Ayahmu akan segera menyusul. Tempat ini sudah penuh oleh kita, jadi dia memakai kapal lain untuk pergi.”

“Benarkah itu, kak Amane?”

“Hmm.. benar!”

“Lalu, kenapa kita semua pergi lewat air? Kenapa enggak dari atas? Emang di luar apa yang terjadi? Kenapa semua pada takut?”

Amane terkejut dengan semua pertanyaan dari mulut kecil Yula. Anak berumur enam tahun kurang lima bulan ini dapat melihat kondisi dan tahu hal buruk sedang terjadi.

“Yula, apa yang sedang kamu rasakan saat ini?”

“Hmm… hal buruk,”

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan?”

“Hmm… karena aku anak kecil, aku hanya bisa berdoa. Itulah yang diajarkan ayah padaku,”

“Kalau begitu, kenapa kita tidak berdoa saja? Semoga hal buruk itu tidak menyakiti kita,”

“Iya. Aku akan berdoa. Dan… dan semoga ayah baik-baik saja, dan dapat menyusul kita,” Yula memulai doanya.

“Ya, semoga saja, Tuhan,” Amane ikut berdoa.

Disisi lain, dimana Kira berada. Ia harus melakukan hal yang telah lama tidak ia lakukan. Ia memasuki sebuah besi besar yang sudah tua, namun tetap terawat baik. Ia merasakan getaran yang sama disaat pertama kali memegangnya.

“Perasaan ini, suara ini, pandangan ini, sama dengan dua puluh lima tahun yang lalu. Sangat begitu cepat berlalu dan terlalu cepat untuk kembali. Dan sebaiknya ini tidak akan kembali. Benar itu, bukan, Strike Freedom?”

Mencoba memanasi mesin, mengecek segala hal, dan pada akhirnya ia harus menarik pedal dan meluncur pesat.

Di kapal selam…

“Ah, rupanya kamu, Amane. Kau membuatku terkejut.”

Amane masuk ke ruang kendali kapal. Disana ia bertemu dengan Rian, kakaknya. Ia duduk di belakang Rian dan tertunduk sedih.

“Kakak, apa semua ini akan kembali lagi? Apa, Bapak Kira akan baik-baik saja?”

“Apa yang kau takutkan, Amane? Dunia ini tidaklah kekal. Hanya itu yang dapat aku katakan.”

“Ya, kak Rian benar. Semoga semuanya baik-baik saja.”

“Ya, semoga. Berdoalah!”

Amane berbisik dalam hatinya, “Tuhan, jangan lagi ada perang, kumohon!”


~to be continued ^^


© 2014 Aga ALana


My Review

Would you like to review this Chapter?
Login | Register




Share This
Email
Facebook
Twitter
Request Read Request
Add to Library My Library
Subscribe Subscribe

Advertise Here
Want to advertise here? Get started for as little as $5
Compartment 114
Compartment 114

Stats

350 Views
Added on October 3, 2014
Last Updated on October 7, 2014
Tags: gundam, scifiction, drama


Author

Aga ALana
Aga ALana

Padang, Padang, Indonesia



About
Hi, everyone who loves reading and writing! anything~ ^^ I'm Aga ALana, i'm not pro in writing and not newbie at all, i'm still learning how to be good writer and give good stories to everyone~! I w.. more..

Writing
02 – Class A 02 – Class A

A Chapter by Aga ALana





The Shadow On My Shoulder
There is an angel who sits upon my shoulder who goes by the name of Death...